Griya Schizofren: Ubah Stigma, Mendampingi dan Memanusiakan ODMK
Saat diwawancari oleh penulis secara langsung via telepon pada (24/10/2023), Tria menungkapkan perjalanannya di tahun 2012 untuk melilhat sisi lain ODMK secara personal dan membangun Griya Schizofren. Griya Schizofren merupakan wadah volunteerism untuk anak-anak muda yang peduli kepada Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Pada tahun 2012 Tria masih menjadi mahasiswa Sosiologi di Universitas Sebelas Maret Surakarta, ia terbesit untuk mengabdikan hidup sosialnya kepada ODMK.
"Karena aku adalah Sosiolog dan belajar di bidang itu, waktu itu aku bingung kegiatan sosial itu harus aku kembalikan ke masyarakat mana yang perlu dibantu, barulah aku memilih masyarakat ODMK yang bakal jadi perhatianku. Realita pahitnya adalah mereka juga manusia yang seringkali tidak dimanusiakan"
Griya Schizofren terbentuk karena kegelisahan melihat banyaknya orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) yang familiar dengan kata “orang gila” dan tidak penting untuk digubris di masyarakat. Mirisnya, masih banyak stigma negatif yang menghantui ODMK di masyarakat, sehingga hak-hak ODMK tak terpenuhi dan berujung tak dimanusiakan.
1. Berbagai stigma negatif tentang ODMK yang berdampak dirampasnya HAM penderita gangguan jiwa untuk dimanusiakan
"Sebenarnya saya tidak menyalahkan orang lain punya stigma karena minimnya informasi, edukasi, dan interaksi setiap individu, maka dari itu kita perlu banyak menggali informasi mengenai ODMK melalui jurnal, edukasi melalui campaign dan interaksi melalui volunteer seperti Griya Schizofren."
Dilansir data Kementerian Kesehatan, ODMK mengalami pelanggaran hak asasi yang paling berat. Banyak dari mereka dipasung dan mengalami kekerasan fisik. Setidaknya ada 4304 orang di Triwulan II 2022 dalam masalah kejiwaan (ODMK) berat dipasung dengan alasan demi keamanan lingkungan dan ketentraman keluarga. Bagaimana cara kita untuk memahami dan menerima kondisi ODMK jika dari kita sendiri bersikap acuh? Oleh karena itu, penting sekali menepis stigma buruk tentang ODMK yang beredar, diantaranya adalah:
- Anggapan bahwa ODMK berbahaya maka harus diisolasi, dianggap tidak mampu berpikir atau bekerja, dan sulit untuk disembuhkan. Faktanya, dilansir kemkes.go.id fungsi kognitif mereka tidak terganggu, sehingga masih bisa berpikir dengan baik, dan dengan pengobatan yang baik, mereka dapat pulih dan berkontribusi pada kehidupan di masyarakat.
- Anggapan bahwa ODMK sering mengamuk dan dianggap mengganggu lingkungan. Sehingga, memasung ODMK seakan hal yang diwajarkan di masyarakat. Faktanya, memasung ODMK justru akan memperburuk kondisi jiwanya.
- Stigma bahwa memiliki keluarga dengan masalah kejiwaan adalah hal yang memalukan. Alhasil, banyak ODMK dibiarkan tanpa penanganan medis ke ahli maupun rehabilitasi ke RSJ, bahkan banyak yang diterlantarkan keluarga sendiri dan berakhir jadi gelandangan hanya karena rasa malu yang menghantui. Padahal, jika stigma di masyarakat menerima ODMK seutuhnya tanpa memandang rendah penyakit mereka, akan banyak ODMK yang terawat dan dapat hidup bermasyarakat.
- Anggapan bahwa berobat ke psikiater atau psikolog berarti orang gila. Hal ini menyebabkan penderita gangguan jiwa pun enggan berobat ke RSJ karena takut di cap gila oleh orang sekitarnya. Padahal, jika gangguan jiwa bisa dideteksi sedini mungkin dengan bantuan psikiater atau psikolog maka akan membantu banyak hal bagi kesembuhannya.
- Stigma bahwa gangguan mental berkaitan dengan kurangnya iman penderita. Faktanya, gangguan mental bisa terjadi pada siapa pun, tak kenal usia, status sosial, maupun agama yang dianut.
2. Kurangnya sarana prasana rumah sakit jiwa dan tenaga profesional untuk ODMK
Belum selesai soal stigma negatif ODMK yang hingga kini belum menemui titik terangnya, lagi-lagi ODMK harus dihadapi kenyataan pahit bahwa SDM tenaga medis kejiwaan seperti psikiater atau tenaga perawat kesehatan jiwa pun sangat terbatas. Terlebih, belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.
Dilansir Kementerian Kesehatan, data tahun 2021 hanya terdapat 1.053 orang psikiater di Indonesia. Sedangkan, prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa, sehingga satu psikiater harus melayani sekitar 250 ribu penduduk.
3. Berawal dari langkah kecil Triana Rahmawati dan Griya Schizofren ingin hadir sebagai "keluarga" untuk memanusiakan ODMK
Melihat stigma-stigma buruk tentang ODMK di masyarakat yang kian meresahakan dan kurangnya perhatian pemerintah dalam penanganan penderita gangguan jiwa, membuat Triana Rahmawati melangkahkan tekatnya kala itu untuk mendampingi ODMK. Meski ia datang dari kalangan orang awam, di tahun 2012 Tria tak ragu memulai mencari panti-panti yang mau menerima niat baik Tria menjadi "teman" bagi para ODMK.
Awalnya, Tria sempat kesusahan mencari panti rehabilitasi karena realitanya tidak semua panti welcome. Barulah, Tria dan tim Griya Schizofren mendapati Griya PMI Peduli Surakarta yang memiliki 130 jiwa ODMK untuk menjadi tempat mengabdinya. Griya PMI Solo mendapati ODMK di pinggir-pinggir jalan dan hidup menggelandang. Banyak dari mereka juga titipan keluarga karena tidak punya biaya untuk merawatnya.
"Banyak dari mereka sebatang kara ditinggalkan keluarganya dan hidup menggelandang, rata-rata ODMK di Griya PMI adalah bapak-bapak dan lansia, beberapa tahun lalu ada pelajar juga namun kini sudah meninggal dunia karena masalah kejiwaannya terbilang berat." ungkap Tria kepada penulis.
Dengan niat sederhana Griya Schizofren hadir untuk menjadi teman dan keluarga ODMK dengan memberikan terapi menyanyi, mengajak mereka bercerita, atau sekadar menjadi pendengar dari celotehnya. Jika banyak manusia memandang rendah martabat mereka, paling tidak masih ada Tria dan pemuda--pemudi di Griya Schizofren yang memanusiakan para ODMK. Komunitas ini tidak bisa menyembuhkan penyakitnya, namun bertahap ingin membangun kesadaran kepada masyarakat bahwa Orang Dengan Masalah Kejiwaan tetaplah manusia yang tak perlu ditakuti, diolok-olok apalagi dijauhi.
4. Memberi harapan, harga diri dan identitas positif bagi ODMK yang kehilangan jati dirinya

Sebagai salah satu proses pemulihan, Griya Schizofren menciptakan identitas positif bagi mereka yakni sebagai pengusaha handmade, penyanyi, pencerita, pelukis, dan penulis. Griya Schizofren pun turut mendampingi dan memberi afirmasi positif terhadap karya para ODMK. Melalui identitas positif inilah harapannya ODMK kembali memiliki rasa percaya diri dan identitas yang kuat, sehingga mereka tidak akan merasa kosong dan hilang arah.
Dari langkah tersebut, Griya Schizofren pun berharap dapat mengubah stigma buruk masyarakat pada penderita gangguan jiwa dapat dikurangi. Sehingga, ODMK suatu hari nanti dapat memiliki pekerjaan, pendidikan dan perlakuan yang sama seperti manusia pada umumnya.
5. Tidak mau bergantung pada donasi, Griya Schizofren memberdayakan karya ODMK melalui Solvenesia
Di tengah misi menciptakan identitas positif bagi ODMK, salah satunya adalah kegiatan menggambar, Griya Schizofren turut menciptakan peluang bernilai ekonomi. Tria dan tim mengembangkan bisnis Solvenesia yakni menjual berbagai souvenir unik karya dari ODMK. Dilatarbelakangi sebagai terapi seni, Solvenesia bertujuan menyelami dunia kreatif ODMK dengan karya-karya yang menggambarkan perjalanan batin mereka.
Hasilnya pun beragam, dari gambar-gambar ODMK tersebut biasanya dijadikan totebag, botol minuman, dan mug. Sejak awal Tria sudah bertekat bahwa kegiatan mereka tidak sebatas soal sosial namun juga bisnis untuk menghidupkan Griya Schizofren.
"Aku nggak pengen orang dengan masalah kejiwaan itu menjadi objek yang dikasihani tapi mereka menjadi subjek, versi terbaik dari diri mereka" ungkap Tria
Tria tidak serta merta mengandalkan sistem donasi karena baginya itu tidak akan bertahan. Dia bersama tim pun menciptakan sistem untuk mempertahankan komunitas ini yaitu dengan berjualan souvenir karya ODMK melalui instagram @solvenesia.
"Dari awal aku memang tidak pernah mengandalkan sistem donasi untuk kegiatan sosial, bagiku meski harus merogoh kocek pribadi, saya tidak merasa harus membedakan ini uang pribadi jika itu dikembalikan untuk kepentingan sosial. Maka dari itu, untuk bisa bertahan saya bikin usaha seperti Solvenesia dan yayasan seperti Happiness Family, barulah jika ada orang yang menawarkan diri untuk jadi donatur saya baru persilahkan. Saya percaya jika kebaikan dapat menyadarkan orang lain. Untungnya, di tahun ini Solvenesia juga dibantu oleh Pertamina Foundation untuk dapat lebih berkembang dengan bantuan alat, modal usaha, dan support" ungkap Tria dalam wawancaranya mengenai sumber dana kegiatan sosialnya selama ini.
6. Banyak rintangan terjadi, kebaikan Triana Rahmawati selaku founder Griya Schizofren diapresiasi oleh Astra melalui penghargaan Satu Indonesia Awards 2017
Berawal dari langkah kecil Tria dan teman-teman mahasiswa Universitas Sebelas Maret untuk menjadi "keluarga" bagi ODMK di Griya PMI Surakarta, kini Griya Schizofren terhitung sudah 11 tahun berdiri dan konsisten mengembangkan komunitasnya di seluruh Indonesia. Salah satu komunitas Griya Schizofren ada di Aceh yang diketuai oleh Yelly dengan backgroundnya sebagai tenaga kesehatan. Namun, saat ini fokus kegiatan Griya Schizofren masih di sekitar Solo Raya dan rata-rata volunteer datang dari seluruh mahasiswa di Surakarta.
Banyak rintangan yang Tria alami selama mendirikan Griya Schizofren, awalnya karena banyak volunteer dari kalangan mahasiswa yang memiliki banyak kegiatan lain hingga berujung tidak konsisten. Akhirnya, Tria kini membatasi volunter untuk Griya Schizofren dibagi menjadi setiap sesi maksimal 15-20 orang dengan masa kerja 6 bulan. Tria pun selalu berusaha mendanai setiap volunteer untuk diberikan timbal balik paling tidak dengan uang transport atau sekadar makan. Rintangan lain yang Tria hadapi juga berasal dari konflik internal dimana Tria sempat merasa dititik lelah dan merasa tidak berkembang, terbesit rasa ingin menyudahi Griya Schizofren.
"Tahun 2017 itu tahun aku sempat ngerasa tidak terlalu impactful. Aku cerita semua masalah dan lelahku ke suami, lalu suamiku mendaftarkan cerita-ceritaku ke SATU Indonesia Awards. Saat ditanya juri Astra aku bahkan bercerita saat itu aku lagi di masa putus asa karena merasa tidak memberi impact penuh, namun salah satu Juri Astra justru membalas bahwa saat itu aku bukan lagi putus asa melainkan sedang berkembang. Alhasil, 2017 aku menang SATU Indonesia Awards tingkat nasional di bidang kesehatan dan merasa bahwa Griya Schizofren tidak boleh berhenti disini" ungkap Tria kepada penulis menceritakan kilas balik kemenangannya di SATU Indonesia Awards.
Kebaikan berbuah manis, saat berada di titik terendah Tria mengurus Griya Schizofren, Astra SATU Indonesia Awards hadir untuk memberi apresiasi atas karya dan gerakan anak negeri dengan dana kegiatan sebesar 60juta kala itu.
"Yang membedakan Astra dengan penghargaan lainnya adalah keberlanjutan. Kalau ditanya kenapa aku bisa bertahan dan berkembang hingga sekarang karena bagiku tidak ada jalan keluar lagi, bayangkan saja setiap tahun saya selalu dihubungi banyak wartawan untuk lomba Pewarta Astra menanyakan progress dan program Griya Schizofren, masak saya harus jawab kalau komunitasnya sudah bubar karena saya capek, justru para wartawan yang datang tiap tahun ini bikin saya semangat untuk terus berkembang dengan gerakan baru dan program baru bagi Griya Schizofren" ungkap Tria kepada penulis.
Harapan Tria dan teman-teman di komunitas Griya Schizofren dapat terus konsisten dan membersamai para ODMK yang terlantar. Tria pun berharap masyarakat umum dapat lebih peduli pada ODMK dan memahami bahwa mereka juga punya HAM dan berhak hidup layak tanpa harus dipandang rendah. Kisah Triana Rahmawati dan volunteer di komunitas Griya Schizofren tentu mencerminkan semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia.
Sumber rujukan:
https://drive.google.com/file/d/1IjTy19152b5EvG8xYAiZS1VlB13Xhdf3/view (bukti wawancara langsung penulis dengan Triana Rahmawati pada hari ini 24 October)
https://www.kemkes.go.id/article/view/1242/menuju-indonesia-bebas-pasung--.html
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6217178/
Comments
Post a Comment